Rabu

Pilihan Allah Yang Terbaik

Tidak ada kenikmatan dalam hidup melebihi merasakan manisnya iman. teman, hanya orang yang hatinya teguh dan penuh dengan rasa cinta kepada Allah lah orang-orang yang selalu diberikan pilihan terbaik oleh Allah, karena apa-apa yang diminta oleh seorang hamba yang terbaik dari sisi RabbNya tiada lain cara mendapatkannya dengan bertakwa sepenuh hati dan sungguh-sungguh kepada Allah.

Rasulullah Salallahu 'alaihi wassalam bersabda: Janganlah kamu menganggap lambat datangnya rezeki , sebab malaikat Jibril menyampaikan kepadaku bahwa salah seorang diantara kamu tidak akan dapat keluar dari dunia ini  , kecuali telah menyempurnakan rejekinya.  Oleh karena itu hendaklah engkau takut kepada Allah , wahai sekalian manusia. Dan usahakanlah dalam mencari rejeki dengan jalan yang baik. , Maka apabila salah seorang diantara kamu menganggap bahwa rejekinya lambat  , janganlah kamu mencari dengan cara berbuat ma’siat kepada Allah , Sebab anugerah dari sisi Allah hanya bisa didapat dengan menaatiNya. ( HR. AL Hakim )


demikian juga masalah jodoh atau pasangan hidup teman, ia merupakan bagian rezeki dari Allah 'azza wa jalla. beberapa hari ini, sebenarnya sih udah beberapa waktu yang cukup lama, aku banyak mendapatkan teman-temanku yang telah menikah namun sebelumnya mereka berpacaran, mengeluhkan rumah tangganya tidak bahagia.

seperti apapun usaha mereka menyembunyikan ketidakbahagiaan itu dengan tipuan kebahagiaan palsu, tetap saja hati tidak akan pernah berbohong. salah satu temanku bahkan sepertinya menyesali pernikahan yang telah ia jalani padahal dulu seingatku sewaktu berpacaran, sepertinya istrinya tidak ada celah keburukan di matanya, namun aneh setelah menikah dia justru gelisah dan menyesali. sungguh hal yang hampir tidak bisa masuk di akalku.

beda lagi dengan temanku yang menikah dengan cara yang benar-benar terjaga tidak dimulai dengan pacaran, namun dilakukan dengan cara yang insyaAllah di ridhoi Allah, setiap dia bercerita sepertinya cintanya kepada suaminya semakin bertambah dan bertambah, sungguh membuatku sangat jeaolus dengan kehidupan rumah tangganya ( semoga nanti aku juga seperti itu setelah menikah ^^ ). 

suatu hari aku bertanya kepadanya, kenapa kau begitu bahagia saudariku? sungguh aku sangat jeaolus melihatmu begitu mencintai suamimu saat ini. maka dari sana tersadarlah aku bahwa setiap lantunan do'anya dia hanya meminta satu saja " Ya Allah Ya Tuhanku, berikanlah aku suami yang terbaik dari sisi Engkau, yang Engkau ridhoi"

aku mengingat-ngingat rupanya temanku ini berdo'a seperti do'anya nabi Zakariya ketika meminta seorang anak kepada Allah, ya dan Allah mengabulkan do'a tersebut kemudian memberikan anak yang soleh bernama Yahya. Subhanallaah....
Dalam Surat Maryam ayat 5 -7 Allah berfirman:

Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera.

yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.

Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.

Allahu Akbar...sungguh...sungguh yang terbaik hanyalah dari sisi Allah...maka teman, lihatlah pada dirimu, apabila engkau mencari segala sesuatu dengan bermaksiat kepada Allah maka ketahuilah teman, apapun yang engkau dapatkan, entah apakah itu harta, kekayaan, jabatan, suami, istri, itu semua bukanlah lah dari sisi Allah karena engkau mendapatkannya dengan jalan bermaksiat. dan teman, berhati-hatilah karena sesuatu yang bukan berasal dari sisi Allah tidak akan pernah membawa keberkahan hidup, apabila keberkahan hidup telah hilang, maka jangan pernah kau berharap datangnya kebahagiaan sejati dalam hidupmu. dan silahkan menikmati hidupmu dalam kebahagiaan semu.

dan mulai sekarang teman, apabila engkau sangat merindukan seorang pujaan hati yang taat dan bertakwa kepada Allah, maka sekali lagi teman, tiada lain cara mendapatkanya, hanya dengan bertakwa kepada Allah dan menaatiNya dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. dan satu lagi kuncinya teman, bersabarlah dalam bertakwa kepada Allah dan berprsangka baiklah selalu kepada Allah, mintalah kepadaNya dengan perasaan harap dan cemas, dan kemudian tunggulah teman, Allah akan memenuhi janjiNya....

Imam adz-Dzahabi[1] dan Ibnu Katsir[2] menukil dalam biografi shahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan shahabat Abu Dzar, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat”. Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah: “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah Ta’ala) berlakukan (bagi hamba-Nya)”.
Atsar (riwayat) shahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama[3].
Dalam atsar ini shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat), karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untk tidak melanggar perintah Allah Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka”[4].
Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[5].
Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah I sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[6].
Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
- Bersandar dan bersarah diri kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya[7]. Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
- Ridha dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya dan ini merupakan sebab utama Allah Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutmaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[8].
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala[9].
- Takdir yang Allah Ta’ala tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya[10].
- Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata,”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[11].
- Orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya, maka jika diberi kekayaan dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Jumadal ula 1432 H

Dari artikel zakat fitri by null
Imam adz-Dzahabi[1] dan Ibnu Katsir[2] menukil dalam biografi shahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan shahabat Abu Dzar, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat”. Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah: “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah Ta’ala) berlakukan (bagi hamba-Nya)”.
Atsar (riwayat) shahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama[3].
Dalam atsar ini shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat), karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untk tidak melanggar perintah Allah Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka”[4].
Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[5].
Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah I sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[6].
Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
- Bersandar dan bersarah diri kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya[7]. Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
- Ridha dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya dan ini merupakan sebab utama Allah Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutmaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[8].
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala[9].
- Takdir yang Allah Ta’ala tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya[10].
- Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata,”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[11].
- Orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya, maka jika diberi kekayaan dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Jumadal ula 1432 H

Dari artikel zakat fitri by null

Imam adz-Dzahabi[1] dan Ibnu Katsir[2] menukil dalam biografi shahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan shahabat Abu Dzar, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat”. Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah: “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah Ta’ala) berlakukan (bagi hamba-Nya)”.
Atsar (riwayat) shahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama[3].
Dalam atsar ini shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat), karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untk tidak melanggar perintah Allah Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka”[4].
Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[5].
Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah I sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[6].
Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
- Bersandar dan bersarah diri kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya[7]. Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
- Ridha dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya dan ini merupakan sebab utama Allah Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutmaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[8].
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala[9].
- Takdir yang Allah Ta’ala tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya[10].
- Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata,”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[11].
- Orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya, maka jika diberi kekayaan dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] Dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (3/262).

Dari artikel zakat fitri by null
Imam adz-Dzahabi[1] dan Ibnu Katsir[2] menukil dalam biografi shahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan shahabat Abu Dzar, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat”. Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah: “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah Ta’ala) berlakukan (bagi hamba-Nya)”.
Atsar (riwayat) shahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama[3].
Dalam atsar ini shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat), karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untk tidak melanggar perintah Allah Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka”[4].
Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[5].
Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah I sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[6].
Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
- Bersandar dan bersarah diri kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya[7]. Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
- Ridha dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya dan ini merupakan sebab utama Allah Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutmaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[8].
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala[9].
- Takdir yang Allah Ta’ala tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya[10].
- Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata,”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[11].
- Orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya, maka jika diberi kekayaan dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] Dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (3/262).

Dari artikel zakat fitri by null